Eh, ada pedagang roti yang menggratiskan dagangannya. Foto aah.
Jepret. Tulis caption, “Sungguh mulia bapak ini. Membagikan gratis dagangannya untuk para peserta aksi.” Unggah di media sosial.
Sehari sebelumnya.
“Pak, rotinya berapaan?” tanya seorang pemuda.
“Lima ribuan, Mas,” jawab singkat pedangan roti tersebut.
Diam sejenak sambil menghitung jumlah roti yang berada di gerobak. “Pak, Ini satu juta. Saya beli 200 buah ya? Tapi bapak berikan ke peserta aksi besok di Monas.”
“Duh, kalau begitu ini kembalian 200 ribu, Mas.”
“Lhoh kok ada kembalian?”
“Saya juga mau dapat pahala, Mas”
Seminggu sebelumnya.
“Mad, kamu dipanggil ke ruangan pak Bos sekarang!”
“Saya?!” duh ada apa ya? Apa terkait pengajuan cuti saya untuk ikut aksi minggu depan ya?
Di dalam ruangan pak Bos
“Saya lihat Saudara mengajukan cuti untuk ikut aksi minggu depan ya? Apa betul?”
“Iya, Pak. Saya minta cuti sehari saja.”
“Hmm,” sambil mengela napas. “Ini ada sedikit “akomodasi”. Saya juga ingin ikut tetapi posisi saya tidak memungkinkan untuk cuti. Semoga bisa membantu Saudara dan teman-teman selama di sana.”
Epilog.
Seorang pemuda, asyik dengan gadgetnya. Berkomentar sinis mengenai foto pedagang roti tadi.
One comment
Pingback: Roti yang Diinjak - Segores Tinta